Penyandang Disabilitas Banyuwangi Bergembira Masuk Pesantren
Penyandang disabilitas berhak mendapatkan akses pada ilmu pengetahuan, termasuk pengetahuan keagamaan. Misalnya di salah satu pesantren yang akan kita ceritakan di bawah, senangnya melihat mereka bergembira saat mengaji.
---
Rasa senang dinyatakan santri Pondok Pesantren Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) KHA Dahlan, Kab Banyuwangi, karena baru kembali dari musim liburan. Sebelumnya mereka tinggal di rumah selama liburan akhir tahun.
Salah satunya Nizam Pangestu Hidayatullah (11), penyandang tunanetra yang menjalani pelatihan membaca dan hafalan kitab suci Alquran. Rasa senang muncul karena bisa kembali beraktivitas bersama penyandang difabilitas lain, saat mengaji maupun menjalani kehidupan sehari-hari.
"Kangen sama ustaz ustazah, kangen sama ngajinya. Kalau di pondok ingat ibu terus, tapi pas liburan di rumah kangen pondok," kata Nizam sambil meringis, Senin 6 Januari 2019.
Di hari pertama masuk, Nizam dan dua kawannya mendaras Alquran bersama dan hafalan surat pendek masing-masing bersama Ustazah Fitriana (43). Nizam yang sudah hatam juz amma tengah menyelesaikan bacaan Alquran hingga juz terakhir.
Penyandang disabilitas yang mengaji banyaknya 14 santri, 6 di antaranya tidur di asrama pesantren. Mereka yang menginap di asrama sejak bangun tidur hingga malam, memiliki rangkaian jadwal kegiatan.
Pagi hari mengikuti kegiatan belajar pengetahuan umum. Selanjutnya kegiatan praktik peribadatan dan mengaji, juga makan bersama 3 kali sehari.
Pemberian pengetahuan umum dilakukan pagi hari karena para santri tidak mengikuti sekolah luar biasa formal seperti SD luar biasa, SMP luar biasa, maupun SMA luar biasa. Sesama santri saling berinteraksi seharian, dibanding di sekolah luar biasa yang saling bertemu hanya di jam pelajaran.
"Senang karena saya ingin bisa mengaji, saya ingin jadi ustaz," kata Nizam.
Fitriana yang khusus mengajarkan fiqih dan baca-tulis Alquran mengatakan kesulitan dihadapinya ketika harus mengajar penyandang tunagrahita atau keterbelakangan mental. Lantaran daya tangkap akal mereka yang rendah.
Namun guru ngaji penyandang tunanetra itu dibantu 9 pengajar dan pengurus pesantren lainnya untuk mengurus dan mendidik para santri. Tetap mereka urus anak-anak itu dengan berbagai tantangannya.
"Kalau baca-tulis Alquran untuk tunanetra kita gunakan kitab braile. Selain tunanetra ada juga tunagrahita yang belajar, kesulitannya di daya tangkapnya itu ya," kata Fitriana.
Lulusan Strata 1 Pendidikan Luar Biasa IKIP Jember itu menjelaskan pesantren menargetkan santri bisa hafal Alquran. Selain itu dilakukan perbaikan-perbaikan bunyi pada bacaan Alquran santri hingga membentuk santri yang bisa membaca, menulis dan menghafal Alquran.
Penyandang disabilitas jadi bisa mengasah spiritualitas mereka dengan cara-cara peribadatan sesuai agama masing-masing. Dengan dukungan ustaz dan ustazah yang telaten, hak-hak itu menjadi mungkin mereka dapatkan.