Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cegah Putus Sekolah dan Perkawinan Anak, Agar Beban Masa Depan Tak Menggunung

Kampoeng Batara kurangi perkawinan anak dan putus sekolah
Kepala Sekolah Mts Darussalam Agus Abdul Latif



SELABAR BANYUWANGI - Lima belas anak berkaus hitam duduk di lantai keramik putih, di aula bambu rumah baca Kampoeng Batara, Lingkungan Papring, Kelurahan/Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (13/3/2022).

Di hadapan mereka, Kepala Sekolah Mts Darussalam, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Agus Abdul Latif, tengah mempromosikan lembaga yang dipimpinnya.

Dia mengajak anak-anak itu mendaftar ke Mts-nya, dengan pendekatan ajaran agama Islam, motivasi contoh sukses, tawaran beasiswa, serta pengembangan minat dan bakat.

Pendekatan agama dilakukan dengan membahas perintah agar umat Islam terus mencari ilmu, tidak putus asa dan terus berdoa agar keluar dari keterpurukan.

Agus juga menceritakan bahwa sebagian alumni Mts Darussalam telah berhasil berkarir di masa dewasanya. Salah satunya, berhasil menjadi penyanyi lagu berbahasa Osing (Using) yang terkenal di Banyuwangi.

Sementara kuota beasiswa seratus persen, akan diberikan kepada 30 siswa baru tahun ini. Namun, bila ada anak tidak mampu di luar kuota itu, beasiswa tetap akan diberikan.

"Inshaallah Mts Darussalam hadir di Kalipuro sana, guna mengangkat harkat, martabat, masyarakat yang ada. Jangan pernah merasa kecil hati, karena bagaimanapun kalian mempunyai dedikasi masing-masing. Ada yang bisa seni tari, ada yang mungkin bisa main angklung, insyaallah Mts Darussalam mampu menyikapi dan mengantarkan itu," kata Agus.

Hari Minggu menjadi waktu rumah baca Kampoeng Batara, menyelenggarakan kegiatan rutin untuk sekitar 40 anak. Mereka adalah warga sekitar yang kebanyakan orang tuanya bekerja di hutan.

Kegiatan yang biasa mereka lakukan berupa belajar membaca, menulis dan bergitung, jelajah hutan dan ajakan melestarikan alam, serta permainan dan kesenian tradisional.

Banyak Anak Belum Sejahtera

Pendiri Kampoeng Batara Widie Nurmahmudy mengatakan, jelang tahun ajaran baru sekolah, pihaknya berusaha mendampingi anak-anak yang akan lulus untuk melanjutkan pendidikannya.

Ada sebelas anak akan lulus sekolah dasar (SD) dan satu anak dari sekolah menengah pertama (SMP), yang sekarang didampingi melanjutkan ke jenjang berikutnya.  

Pendampingan itu dilakukan dengan berkali-kali mengingatkan pada anak-anak dan orang tua, untuk merencanakan kelanjutan pendidikan dan mendiskusikan kesulitan yang dihadapi.

"Kesejahteraan anak sangat penting bagi proses pertumbuhan anak, baik secara fisik dan mental, juga sosial. Kesejahteraan anak tidak hanya pada proses cukup di sandang, papan, pangan, tapi juga pendidikan," kata Widie di Banyuwangi, Rabu (24/3/2022).

Gagasan awal pendidikan Kampoeng Batara, ialah berupaya memberikan ruang bermain anak-anak, dengan kegiatan literasi dan berlatih pertunjukan seni.

Kegiatan yang mereka gelar, juga menjadi ruang edukasi pada anak untuk mengasah otak, membangun mental, mengelola emosi dan berinteraksi sosial.

Sayangnya, belum semua anak di kampungnya berhasil ditarik ke ruang bermain dan keberlanjutan pendidikan wajib tersebut.

Ada anak yang melanjutkan sekolah di SMK jurusan pertunjukan tari, ada yang putus sekolah, ada juga yang masih mengalami perkawinan anak. Hal itu menunjukkan adanya anak-anak yang belum sejahtera di sana.

"Secara umum, kondisi sosial masyarakat yang berkaitan dengan anak masih belum merata, termasuk di Papring. Namun, saat ini telah banyak upaya yang dilakukan masyarakat Papring, khususnya di bidang pendidikan. Harapannya, melalui pendidikan, ada peningkatan kesejahteraan bagi anak-anak di Papring," kata pria yang mengelola rumah baca sejak tahun 2015 itu.

Permainan Tradisional Kampoeng Batara Banyuwangi
Anak-anak Kampoeng Batara dan Permainan Tradisional

Efek Domino Masalah Anak

Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, ada keterkaitan antara permasalahan sosial masyarakat dengan rendahnya kesejahteraan anak.

Misalnya, anak yang tidak cukup gizi akan meningkatkan kerentanan mereka terhadap penyakit di masa depan. Anak putus sekolah akan menyebabkan turunnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan.

Sementara perkawinan anak menambah jumlah keluarga rentan baru di lingkungan masyarakat.

Kemudian, rumah tangga yang yang rentan akan kembali memperbesar potensi terjadinya kematian ibu dan bayi, gizi buruk, tidak mampu membiayai anak sekolah, dan masalah sosial lainnya.

Dia mengatakan, banyaknya keluarga yang terus menjalani roda masalah seperti itu secara turun temurun, akan menambah beban negara, dalam pencapaian target indeks SDM, kesehatan, ekonomi, dan lainnya.

"Kalau nasional, angka pernikahan anak itu cukup tinggi. Dan kalau melihat bagaimana permasalahan yang ditimbulkan, kerentanan yang ditimbulkan, akibatnya, ini kan jadi beban nasional," kata Pribudiarta di Banyuwangi, Selasa (4/5/2021).


Menurutnya menghentikan perkawinan anak merupakan salah satu upaya yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan anak dan mengurangi masalah sosial masyarakat di masa depan.

Secara teknis, hal itu bisa dilakukan dengan pengaturan proses pra nikah agar mereka melakukannya di usia sesuai Undang-Undang (UU), dengan perencanaan penyelenggaraan rumah tangga yang matang.

UU nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, mengatur usia minimal penduduk Indonesia boleh menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.

Bila ada penyimpangan yang mendesak sehingga mereka harus menikah sebelum berusia 19 tahun, harus ada permohonan dispensasi dari orang tua dengan bukti yang menjelaskan kondisi mendesak tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasi persentase jumlah perempuan berusia 20-24 tahun, yang mengalami pernikahan atau hidup bersama pasangan sebelum usia 18 tahun. Jumlahnya 9,23 persen pada tahun 2021.

Sementara jumlah perempuan berusia 20-24 secara nasional pada tahun 2021 diproyeksikan sebanyak 22.577.000 orang.

Maka bisa dihitung bahwa di antara mereka, ada dua juta perempuan yang sebelumnya mengalami perkawinan anak atau hidup bersama pasangan sebelum usia 18 tahun. Data belum mencerminkan kondisi nasional secara keseluruhan.

Penyebab pernikahan anak di Indonesia, kata Pribudiarta, di antaranya dari masalah biologis, ekonomi, budaya, sosio psikologis, sampai perkara infrastruktur sekolah yang belum merata.

Maka menurutnya penanganan harus dilakukan di berbagai sektor tersebut, dengan kerja lintas kementerian dan organisasi perangkat daerah (OPD) di level daerah.

"Upaya penanganannya itu juga harus multi sektoral, harus semua sektor itu bergerak bersama-sama, untuk mencegah agar tidak terjadi perkawinan anak. Kalau (sudah) terjadi perkawinan anak, maka bagaimana memastikan bahwa kualitas hidup anak itu tetap terjaga dan keberlangsungan keluarganya itu tetap survive," ucapnya. (Selabar.id/Udi)