Sadiah Tak Sejahtera setelah Puluhan Tahun Pindah ke Surabaya, Urbanisasi Masih Tak Berhenti
Sadiah (50) puluhan tahun berurbanisasi ke Surabaya |
Jalan Kedungsari, Kelurahan Kedungdoro, Kecamatan Tegalsari, Kota Surabaya, cukup lengang pada siang yang panas, Minggu, 24 September 2023.
Terdengar suara percakapan di sebuah tenda terpal biru di depan sebuah pabrik kertas rokok, di tepi jalan tengah kota itu.
Sadiah (50) duduk seorang diri di bawah tenda, menunggu dagangannya. Di depannya piring-piring berisi lauk tertata dalam gerobak.
Sebuah ponsel terselip di kerudungnya, yang sedang ia gunakan mengobrol dengan kerabat. Komunikasi terdengar lancar menggunakan Bahasa Madura.
“Hari ini sepi karena pabrik libur. Biasanya yang beli kan yang kerja di pabrik, jam istirahat keluar semua ke sini,” kata Sadiah, pada Selabar.id.
Kisah nyata ini dimulai ketika Sadiah meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Sampang, Madura, sejak remaja dan bekerja berpindah-pindah di Surabaya.
Berbanding terbalik dari kampungnya yang sepi dan tandus, Kota Surabaya menawarkan banyak pekerjaan dan perputaran uang.
Sebenarnya dari beberapa pekerjaan itu, dia sudah mendapatkan sejumlah pengalaman dan keterampilan, salah satunya menyablon dan mencampur pewarnanya.
Sayangnya, pekerjaan di kota pun bisa tiba-tiba hilang, misalnya saat perusahaan tempatnya bekerja tutup. Atau suaminya yang kuli bangunan, yang kadang taki mendapat garapan.
Usaha berdagang kaki lima pun menjadi pilihan. Ia berjualan makanan dan minuman setelah membeli gerobak makanan bekas.
Ternyata, penghasilan dari usaha itu pun tetap tak cukup untuk membiayai pendidikan anaknya, hingga akhirnya semua putus sekolah.
Hasil jualan selama ini dia gunakan bertahan hidup, dan membangun rumah di atas tanah warisan di kampung halaman.
Meskipun telah punya rumah, ia tetap tak berani pulang karena minimnya peluang ekonomi di kampung halaman.
“Ya cukup, (penghasilan) dicukup-cukupkan,” katanya lagi.
Sadiah merupakan bagian dari potret problematika urbanisasi. Di kampung halaman, dia tidak memiliki harapan karena keterbatasan pekerjaan.
Sementara di kota tak menjamin dirinya sejahtera, bahkan kerap terancam digusur. Setidaknya bagi Sadiah, ia bisa bertahan hidup bersama keluarga.
Warung Sadiah di Kedungsari, Surabaya |
Peran Dana Desa
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam publikasinya menjelaskan bahwa penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia, serta penanggulangan kemiskinan.
Penggunaan dana desa untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut harus dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa.
Pelaksanaan program yang didanai Dana Desa harus sesuai dengan pedoman teknis yang ditetapkan bupati atau walikota masing-masing daerah.
Dana Desa bisa saja digunakan untuk membiayai program yang tidak masuk dalam prioritas penggunaan.
Namun harus mendapat persetujuan bupati atau wali kota, dengan syarat program-program yang bersifat prioritas atau kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat telah terpenuhi.
Sementara Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDDT) menjadikan Dana Desa sebagai pendorong percepatan pembangunan desa sehingga menekan urbanisasi.
Dengan demikian Dana Desa harus digunakan untuk mengembangkan dan memajukan perekonomian desa, menciptakan lapangan kerja untuk warga disertai penghasilan layak, dan menciptakan berbagai peluang usaha atau bisnis baru.
Data dari Kementerian Keuangan dalam Kajian Fiskal Regional 2022 Kantor Wilayah Jawa Timur Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu, menunjukkan realisasi penyaluran Dana Desa di wilayah Jawa Timur terus meningkat.
Secara berurutan, dana yang dikucurkan ke desa-desa di Jawa Timur sejak 2016 sampai 2022 adalah Rp 4.950, 6.330, 6.330, 7.430, dan 7.570 miliar.
Sayangnya, setelah pengucuran sedemikian banyak Dana Desa sejak tahun 2015 di Provinsi Jawa Timur, urbanisasi di Kota Surabaya masih tinggi.
Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Kota Surabaya, pun menyatakan sampai kini, Surabaya masih menjadi salah satu tujuan urbanisasi utama di Indonesia.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pun menyatakan jumlah waga Kota Surabaya terus bertambah sekitar sepuluh ribu jiwa per tahun, sejak tahun 2016 sampai 2022.
Hal itu mencerminkan kucuran Dana Desa di wilayah Jawa Timur belum berhasil membendung arus urbanisasi dari daerah-daerah ke Surabaya.
Khawatir Pemborosan Anggaran
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Jember (Unej) Ciplis Gema Qori'ah, mengatakan saat ini urbanisasi menyebabkan masalah besar, tak hanya pada desa yang ditinggal, tetapi juga kota yang dituju.
Kota memang memiliki variasi jenis pekerjaan yang lebih banyak, sehingga menarik bagi pencari kerja. Namun tanpa keterampilan, mereka akan tetap menganggur.
Di sisi lain, desa akan semakin ditinggalkan sehingga kurang sumber daya manusia (SDM), sementara kota menampung semakin banyak pengangguran.
“Karena jika penduduk itu bertambah, di kota yang dituju, kemudian yang datang itu tidak mempunyai kompetensi atau pendidikan yang baik, itu juga jadi masalah. Sehingga kota tersebut akan menampung penduduk pengangguran yang luar biasa,” kata Ciplis, 24 September 2023.
Maka, menurutnya Dana Desa harus bisa digunakan untuk sebanyak-banyaknya menciptakan lapangan kerja baru di desa, untuk menekan arus urbanisasi.
Dia mengatakan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) bisa menjadi strategi dalam menciptakan lapangan kerja menggunakan Dana Desa. Cara kerjanya bisa menyesuaikan potensi yang ada di masing-masing desa.
Sayangnya banyak terjadi mismanajemen di desa-desa, sehingga tujuan itu tidak tercapai. Padahal dengan manajemen yang baik tujuan tersebut bisa diraih.
Menurutnya pengawasan dari Pemerintah Pusat seharusnya juga bisa mengevaluasi apakah selama ini, Dana Desa telah digunakan untuk tujuan yang tepat.
“Dan output impact-nya apa saja. Kalau (evaluasi) itu tidak jalan, saya pikir ini merupakan pemborosan anggaran negara yang luar biasa masive-nya,” kata Ciplis lagi.(Selabar.id/Udi)