Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gebug Ende, Memohon Hujan Lewat Duel Rotan


gebug ende, memohon hujan, musim kemarau, petani bali, sawah bali, tradisi bali, gebuk ende, begug seraya, perang seraya, perang rotan
Tradisi Gebug Ende Bali

Gebug Ende menjadi salah satu khazanah kebudayaan masyarakat Nusantara dalam memohon hujan saat musim kemarau. 
 
Dua musim yang mereka alami setiap tahun turut mempengaruhi kebudayaan dan tradisi masyarakat Indonesia.

Gebug Ende digelar ketika tanah kering, pohon-pohon meranggas, dan ranting-ranting kering menjulang tanda kemarau telah lama melanda. 
 
Misalnya yang nampak di jalur masuk, sepanjang jalan berbatu, Taman Nasional Bali Barat (TNBB) ke Octagon Resort, yang saya kunjungi Sabtu, 2 November 2019.

Beberapa kali melewati bak air buatan yang disemen, sayang sekali saya tidak berkesempatan bertemu kijang barang satu. 
 
Kemudian sampailah di Plataran L'Harmonie, bagian dari Plataran Group yang memiliki konsesi ekowisata di TNBB, yang tengah menggelar Plataran Menjangan Xtravaganza 2019.

"Dengan acara ini kami mengundang semua lapisan masyarakat, dan menunjukkan bagaimana kami care dengan alam," kata Eksekutif Asisten Manager Plataran Menjangan Nengah Mariada kepada saya.

Dia menjelaskan Xtravaganza menjadi acara yang menunjukkan bahwa destinasi di TNBB juga terbuka untuk wisatawan domestik. 
 
Di antara kegiatannya menanam pohon endemik, pelepasan burung Jalak Bali ke habitat alami, kesenian tradisional, jazz, festival mural dan layang-layang hingga Gebug Ende.

Gebug Ende ditampilkan pemuda-pemuda Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng saat terik menyengat ubun-ubun kepala. 
 
Tabuhan Bebendongan mengeluarkan bunyi-bunyinya, dua orang wasit berjongkok di ujung garis tengah, sementara dua peserta berdiri tegap di kiri dan kanan bersiap saling tebas.

Keduanya bertelanjang dada, berudeng, dan melapisi celana pendek dengan sarung yang diikatkan di bagian pinggang. 
 
Tangan kiri memegang tameng bundar dari kulit hewan untuk berlindung dan kanan menggenggam sebatang rotan untuk menyerang.
gebug ende, memohon hujan, musim kemarau, petani bali, sawah bali, tradisi bali, gebuk ende, begug seraya, perang seraya, perang rotan
Saye Gebug Ende Bali Komang Sudiasa Artawa

Rotan-rotan diacungkan ke atas dan diayunkan sesuai tarian penggunanya yang mengikuti irama kendang dan ceng-ceng kecil Bebendongan. 
 
Kedua 'Gladiator' itu saling mendekat sambil terus menari, namun di garis tengah kuda-kuda langsung dipasang dan saling babat badan mereka lakukan.

Tradisi Bali yang satu ini biasa dilakukan untuk memohon hujan pada Sang Maha Kuasa, oleh petani-petani Bali yang sawahnya tengah mengering. 
 
Hal itu disampaikan sang Saye atau wasit Gebug Ende asal Desa Pejarakan, Komang Sudiasa Artawan, kepada saya.

Dia mengatakan setelah tanam, kerap didapati hujan tak lagi turun hingga mengancam kehidupan padi yang terlanjur ditanam. 
 
Masyarakat Bali berkeyakinan bila Gebug Ende dilaksanakan, apalagi ada darah mengucur dari kepala karena sabetan rotan, hujan akan diturunkan.

"Kalau sampai bocor masyarakat bersorak, karena yakin hujan akan turun," kata Komang setelah pertunjukan.

Tradisi Bali yang disebut juga perang rotan ini biasanya terus digelar berpindah-pindah di lingkungan desa hingga hujan turun. 
 
Sekali digelar berlangsung 30 hingga 50 kali duel yang sering juga dilakukan antar pemuda desa yang berbeda. 
 
gebug ende, memohon hujan, musim kemarau, petani bali, sawah bali, tradisi bali, gebuk ende, begug seraya, perang seraya, perang rotan

Tradisi Bali yang melarang pemukulan bagian perut ke bawah ini akan dihentikan wasit bila lawannya tak seimbang atau kepala peserta terpukul karena akan mengganggu konsentrasinya. 
 
Komang mengatakan, setelah selesai duel, keduanya akan berpelukan sebagai bukti tetap tersambungnya persahabatan mereka.

"Setiap tahun pasti ada penyelenggaraan. Kita tarung, tapi tetap persahabatan," kata dia.

Sawah Bali menjadi taruhan bagi para petani melanjutkan kehidupan dirinya dan keluarga, bahkan masyarakat luas. 
 
Selain itu, wahana unjuk kejantanan diri ini menjadi tontonan bagi warga sekitar ataupun pengunjung dari luar.

Petani Bali yang mengandalkan lahan tadah hujan semakin lama semakin sedikit karena program irigasi yang terlaksana dari tahun ke tahun. 
 
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Buleleng mencatat bahwa pada tahun 2017 daerah itu memiliki 10.335 hektare sawah padi. Irigasi telah menjangkau 10.270 hektare, sementara 65 hektare mengandalkan tadah hujan.

Gebug Ende kemudian menjadi tradisi yang tetap dilaksanakan masyarakat Bali sebagai peninggalan leluhur. Pelestarian kebudayaan terus mereka laksanakan dengan berkorban badan atau kepala lebam berdarah.