Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Nyata : Hujan Tahun Baru dan Tangis Laki-laki Pinggir Hutan

Hujan hari pertama tahun 2020

Kisah nyata ini berlangsung di sebuah kampung bernama Papring, tempat bertemunya tiga orang laki-laki, Fendi (14), Rudi (14) dan Widie (40). Salah satu lingkungan di Kelurahan Kalipuro itu berada di perbukitan kecamatan yang juga bernama Kalipuro, di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. 

Rabu, 1 Januari 2019, ketiganya merayakan hujan deras pertama yang memang datang terlambat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Caranya dengan bermain sepak bola di bawah guyuran air langit. Kaki-kaki terayun setelah gawang terpasang dari batu bata dan kelapa kering yang kini basah lagi.

Energi yang mereka keluarkan bahkan lebih awet dari hujan yang mundur duluan. Tak masalah hujan tinggal rintik-rintik, toh kubangan yang ditinggalkan bisa mereka gunakan bertabrakan-bergulat-berjatuhan memperebutkan bola.

Cerita nyata di balik derai tawa tiga laki-laki yang kuyup bersama anak-anak kecil lainnya ini, diuraikan di bawah. Bersama kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, mereka terhubung, terpisah dan menerjang apa yang ada di hadapan masing-masing.

Fendi

Siswa kelas 2 Mts Ibrahimy Kalipuro ini anak dari pasangan Pak Edi dan Bu Edi, demikian kerap disapa. Setiap pagi pergi ke sekolah, bergaul dengan kawan-kawan di sana, dan pulang kadang membawa tugas dari gurunya. 

Setiap hari Minggu pagi dia duduk di depan sebuah perangkat angklung dan memainkannya. Lagunya bisa Pop berbahasa Indonesia, dangdut atau lagu daerah berbahasa Using (Osing) Banyuwangi, seperti Ulan Andung-andung atau Impen-impenan. 

Kawan-kawannya akan datang. Sebagian ikut bermain musik karena ada kendang, kenong, ketipung, kecrek, dan gong. Sebagian lagi bermain lompat tali, badminton, egrang batok, egrang bambu, dakon, atau malah menari-nari sendiri mengikuti alunan musik. 

Mereka sedang beraktivitas di Kampoeng Batara, sebuah taman baca yang ada di depan rumah Pak Edi dan Bu Edi. Semua akan berkumpul dan beraktivitas bersama di sebuah pondokan taman baca saat dipanggil. Fendi paling menonjol karena secara fisik paling besar, kemampuan bermusik paling unggul, dan mentalnya paling kuat. 

Berbagai kegiatan mereka lakukan seminggu sekali di taman baca yang berjarak 100 meter dari hutan KPH Perhutani Banyuwangi Utara itu. Mereka bisa membaca buku dan menceritakannya, menggambar dan mewarnai, menulis dan membaca puisi, menjelajah hutan dan mengenal berbagai tanaman, hingga berlatih pertunjukan musik dan tari kolosal. 

Taman baca itu kerap didatangi tamu, dari relawan, akademisi, kelompok teater, aktivis adat dan lingkungan, hingga pejabat dan artis. Anak-anak yang mulai mengenal gawai, lepas dari perhatian orang tua yang sedang bekerja di hutan, memiliki mental yang suka beringsut, menjadi berani tampil dan aktif melakukan berbagai hal dengan ceria. 

Fendi salah satunya, yang berbahagia dengan kegiatan-kegiatan yang dinikmatinya itu. Tak rugi dia berjuang mengumpulkan kawan-kawannya di awal berdirinya Kampoeng Batara hingga sekarang ramai dengan kegiatan dan pengetahuan. 

Rudi dan Fendi

Anak pinggiran itu telah tampil di depan banyak tamu, diundang berbagai acara, bahkan sekali waktu beraksi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Anak hutan itu telah tercukupi kebutuhan jasmani dan rohani meskipun tidak bergelimang harta.

Sayangnya kebahagiaan yang sama tak bisa dinikmati kawan karibnya, Rudi. Mari melihat sedikit kondisi Rudi yang semasa bersekolah di MI Darussalam II dahulu sekelas dengan Fendi. 

Rudi 

Sebelum mereka bermain bola di tengah hujan tanpa petir itu, Rudi datang ke Kampung Batara, basah kuyup bertelanjang dada. Badan hitamnya terlihat lelah menghadapi kerasnya kehidupan, tapi anak laki-laki mana yang tak ingin main hujan-hujanan. 

Rudi juga bagian dari keluarga Kampoeng Batara. Namun setelah lulus MI tahun 2017, dia tak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Begitu juga kegiatan di Kampoeng Batara dia hentikan. Maka cukup mengagetkan kedatangannya ke Batara saat hujan awal tahun 2020 itu.

"Ayok hujan-hujanan," ajaknya pada Fendi. 

Nyata sekali terlihat kebocahannya. Juga ketika dia tertawa lepas saat berebut bola, terjatuh bersama-sama, atau ketika ada yang mencetak goal. Jangan lupa juga saat setelahnya, dia mengeruk lumpur dengan tangan kosong, melemparnya ke Fendi atau menghindar dari lemparan balasan. 

Tapi apakah tawa yang sama akan muncul saat dia menjadi kuli bangunan atau berburu di hutan seperti yang juga biasa dikerjakan ayahnya. Karena itulah aktivitasnya sehari-hari sejak putus sekolah, anak itu bekerja.

Putus sekolah telah lama menjadi momok anak-anak Papring yang nampaknya belum beres teratasi sampai pada generasi Fendi dan Rudi. Atau mungkin memang begitu nasib yang harus dijalani anak-anak pinggir hutan

Kisah nyata Rudi harusnya melecut kita bahwa di sekitar kita masih banyak permasalahan pendidikan. Faktor ekonomi, jarak sekolah yang jauh, hingga kesadaran pentingnya pendidikan yang rendah membuat momok itu masih menghantui anak-anak di generasi berikutnya. 

Widie 

Adalah laki-laki yang pernah menangis karena merasa gagal menyelamatkan Rudi dari putus sekolah. Kampoeng Batara didirikan dan diasuhnya untuk mendidik anak-anak tetangganya dengan cara seru dan menjamin keberlanjutan sekolah formal mereka. 

Terakhir kali ditanyainya, Rudi mengatakan akan melanjutkan bersekolah. Dia merasa kecolongan saat akhirnya Rudi tidak bersekolah karena tidak bisa beli seragam, sedangkan dirinya sedang ke luar kota. 

Anak-anak Kampung Batara

Menyesal yang paling sesal sekalipun sudah tiada arti. Rentan putus sekolah adalah kerentanan yang menempel pada setiap pelajar sampai mereka betul-betul lulus. Kekhilafan itu membuat Widie merasa Rudi tak lagi rentan putus sekolah sehingga kewaspadaannya berkurang. Hingga keputusan yang memilukan itu diambil oleh keluarga Rudi dan menghentak kesadarannya. Bahwa pendampingan kepada anak rentan putus sekolah harus dilakukan hingga mereka lulus.

Motivasi sabar membuatnya telaten bermain bersama sekitar 30 anak Papring setiap hari Minggu pagi. Juga hari-hari lain saat ada kesempatan, misalnya ketika ada tamu atau hari Rabu awal tahun ini saat hujan datang.

Kisah inspiratif Widie membuatnya menjadi salah satu sosok yang diliput Harian Kompas, mendapatkan berbagai penghargaan, mendapatkan undangan berbagai diskusi pendidikan, dan Kampoeng Batara diakui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) sebagai sekolah adat. Kini juga ada Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) untuk pelajar paket A, B dan C di sana.

Mungkin nanti Rudi ambil paket B dan C saja agar mendapatkan ijazah pendidikan formalnya. Sementara biarlah dia mengais kehidupan kanak-kanaknya bersama Fendi di luar kelas maupun Kampoeng Batara. 

Biarlah hujan membuat dia tertawa lepas, saat berebut bola, terjatuh bersama-sama, atau ketika ada yang mencetak goal. Jangan lupa juga saat setelahnya, dia mengeruk lumpur dengan tangan kosong, melemparnya ke Fendi atau menghindar dari lemparan balasan.

Kisah nyata ini sebagai pengingat bagi kita semua bahwa putus sekolah bagi anak-anak adalah hal yang mengkhawatirkan. Masalah anak terbesar juga ketika mereka tidak bisa menjalani tahap bermain yang melatih berbagai saraf dan skill untuk menghadapi kehidupan selanjutnya.