Kopi Gombengsari Banyuwangi, Tempat Piknik Kebun Sampai Seduh Seruput
Kopi Gombengsari |
Kopi Banyuwangi - Siapa sangka kehidupan perkebunan yang dulu sepi di Kelurahan Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, sekarang ramai didatangi wisatawan nasional hingga internasional.
Bukan wisatawan mancanegara biasa, pejabat Konsulat Jendral Jepang di Surabaya kabarnya pernah datang nyeruput, bahkan menyangrai kopi sendiri. Sampai biji-biji kopi tumpah dari wajan gerabah karena terlalu bertenaga saat mengaduk. Kerap pula bus-bus rombongan pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau kelompok-kelompok lain terlihat menurunkan wisatawan yang hendak melakukan gathering di sana.
Agustus adalah bulan biasa Kebun Kopi Gombengsari di Kab Banyuwangi mulai panen. Itu artinya kalau kamu mau piknik kopi, ikut tur ke kebunnya sambil memetik bulatan-bulatan merah dan mencium harumnya, kamu bisa datang pada bulan Agustus, September, atau Oktober.
Paket wisata tour kebun kopi seperti itu, ditambah sangrai kopi, perah susu kambing etawa, dan yang paling penting ‘kuliner’ serta kudapan khas, bisa kamu dapatkan dengan budget sekitar Rp 100 ribu saja. Kenapa murah? Karena Banyuwangi memang daerah wisata yang apa-apa masih semurah itu.
Kopi Gombengsari biasa dinikmati dengan degan goreng di suasana perkebunan dengan daun-daun hijau dan angin yang berhembus sepoi. Kelapa muda goreng itu kudapan khas lokal Gombengsari, bisa digoreng pakai minyak atau margarin sesuai permintaan. Rasanya lembut, manis dan beraroma harum karena adonan tepungnya dicampur vanili.
Dari catatan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Gombengsari setiap bulan datang sekitar 1.500 wisatawan ke kelurahan dengan 70 persen lahan berupa kebun kopi rakyat itu. Kopi masih menjadi daya tarik utama pelancong datang, di samping wisata Pinus, Bukit Puncak Asmoro dan lainnya.
Tidak hanya dari paket wisata piknik kopi, masyarakat produsen kopi juga mendapatkan hasil dari belanja oleh-oleh kopi para pengunjung. Ragam pilihan kopi bubuk dengan packaging pouch modern dibanderol dengan harga Rp 35 ribu hingga Rp 60 ribu.
Puncak Asmoro |
Tak heran, warga Gombengsari sadar akan potensi di lingkungannya, mereka menyiapkan penyajian paket wisata, hingga gotong royong mempercantik destinasi, akhirnya memberikan hasil yang tidak mengecewakan. Keuntungan bukan hanya bagi mereka, ramainya kunjungan wisata juga akan dinikmati anak cucu ketika inovasi dan angka kunjungan terus ditingkatkan.
Kreativitas masyarakat yang didominasi suku Madura dan dukungan dari pemerintah membuat desa yang menjadi akses ke perkebunan Kali Klatak itu ramai kegiatan wisata. Diawali Suparno (69) warga Lingkungan Lerek, yang menanam pohon kopi pertama pada tahun 1971 di kebunnya, dan berkembang hingga sekarang Gombengsari memiliki 850 hektare kebun kopi rakyat.
Tahun 2003 menjadi masa yang berarti karena para petani kopi mengikuti program pelatihan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Setelah pendidikan itu, yang sebelumnya panen menghasilkan 7 kwintal green bean, meningkat menjadi 1,3 ton green bean rata-rata per hektare setiap tahun.
Tidak ragu lagi pada pengalaman mereka mengelola kebun kopi agar produktifitasnya maksimal. Produk kopi bubuk dan kemasan wisata kemudian berkembang pada tahun 2016 dengan digelarnya festival dan tumbuhnya usaha-usaha produsen kopi. Sejak saat itu kebun-kebun kopi yang teduh dan basah mulai menerima kunjungan orang-orang baru yang ikut memetiki buahnya yang merah.
Kopi Gombengsari Banyuwangi yang dulu dijual tak sampai 5 ribu per kilogram cherry bean, kini dijual dalam bentuk bubuk atau roasted bean dalam harga puluhan ribu per 100 gram. Tak hanya itu, dari kampung sepi dengan hanya aktivitas kebun, sekolah dan peribadatan, menjadi kampung yang ramai wisatawan.